apakah kau tetap mencintaiku?

Tentara Hari ini hari ke 28 setelah perang, aku masih berbaring dikamar ini, lengan kananku yang diperban tebal yang sekarang kupo...






Tentara Hari ini hari ke 28 setelah perang, aku masih berbaring dikamar ini, lengan kananku yang diperban tebal yang sekarang kupondong di dadaku--aku masih ingat tepat saat aku membopong temanku tiba-tiba granat meluncur tepat didepan kami, kami terpental dan lengan kanankulah yang paling parah. Kini menatap jendela menit ke menit jam ke jam, aku berharap aku bisa segera pulang untuk bertemu anak dan istriku. Istriku yang kucintai apakah dia baik-baik saja dirumah? Sedang apa dia, apakah sedang memasak sayur jagung manis kesukaanku?. Sedang apa anaku saat ini, apakah dia sedang menggambar diriku dengan seragam lengkap?. Aku merindukan kalian. Aku masih ingat ketika aku akan berangkat hari itu, istriku membelai wajahku dengan expresi kesedihan yang dia tunjukan untuk mengatakan 'aku khawatir, aku gelisah, aku tak mau kehilangan dirimu'. "Kau akan kembalikan," istriku memeluku. "Aku pasti kembali, aku masih ingin melihat Vina tumbuh menjadi gadis cantik," aku membelai rambut hitamnya. Pintu putih rumah kami yang sudah lama memudar warna catnya, warna dinding rumah kami juga mulai luntur. Aku berharap ketika kembali aku bisa mengecat ulang dengan putri kecilku. Dari ruang tamu, aku melihatnya sesosok gadis kecil dengan malu-malu bersembunyi dibalik dinding mengamati kami. Kulepas pelukan istriku dan lambaikan tanganku agar dia mendekat, dia berlari menujuku aku jongkok dan kubalas pelukannya, kuangkat gadis kecil cantikku dan kucium keningnya. "Ayah takkan lamakan perginya?, yah Vina mau nyanyi dipanggung disekolah, Vina pengen ayah nonton" "pasti sayang ayah pasti nonton" Istriku menangis sambil memeluk Vina, aku mencium kening istriku. "selamat berjuang" "siap kapten!" Salamku dengan hormat kepada mereka, sehingga aku melihat senyum manis istriku dan anakku yang membalas hormat padaku.


Pengusaha

Kujambak jambak rambutku, isi kepalaku rasanya mau pecah, bau badanku yang menyengit penuh dengan bolot bekas keringat yang menempel seperti karang, rambutku yang berantakan tak tertinggal juga bau apek karna tak pernah kushamponi, semua bau
 tengik itu menempel pada kulitku yang gosong terkena sengatan matahari, rasanya bau-bau tersebut terlalu manjur membius kesadaranku sehingga aku lupa aku sudah duduk disofa rumahku. Bukan, sekarang ini bukan rumahku lagi.
Aku tadi pergi kerumah kakakku aku cuma minta sertifikat tanah warisan bapakku tapi dia tak mengiakannya. 'Mau kau jual buat usaha? Yang ada malah bangkrut, kau lihat uangnya si Badrun sudah kau gunakan untuk usaha menuju kebangkrutan, aku tak mau tanah peninggalan bapak berakhir ditangan pembangkrut!', begitulah cacian yang dilontarkan kakak kandungku kepadaku. Adikku juga sudah berjanji akan membantuku jika kredit mobilnya sudah selesai, tapi mana buktinya!. Aku yang sudah diujung tanduk masalah kini, malah dia menjahuiku, parahnya lagi dia selalu menghindar saat aku berusaha mendekatinya. Tapi semua masalah itu terkalahkan dengan bau tengik tubuhku. Hari ini mertuaku menemuiku dan dia minta aku menceraikannya, mungkin itulah yang terbaik, agar istriku juga tidak jadi sasaran cemoohan dan tidak memikul beban cobaan ini.
Gerah, panas, demam tubuhku merintih, meronta meminta menyerah, otot-ototku tegang mengkerut sebelum semua itu hilang aku melihat istriku membawakan teh dan tersenyum padaku.

"Yah, ini diminum dulu"

"Oh, ya ma, makasih ya"

"Yah, ada apa? Mereka lagi?"

"bukan ma," aku terpaksa jujur karna aku tau itulah yang terbaik saat ini, aku menghela nafas dalam-dalam. "Bapak minta kita cerai". Istriku kaget. "Lho maz, terus kamu jawab apa?". Aku diam agak lama, dan aku tak tau ucapanku berikutnya. "Dek, mungkin itu yang terbaik, kamu cantik juga bapakmu orang berada, kamu pasti dapat yang lebih baik dari pada aku". "maz aku nikah sama kamu itu bukan karna harta!, kita sedang dicoba, kita berdua maz, bukan cuma kamu doang, apalagi dengan masalah begini dengan kamu menceraikan aku semua masalah akan berakhir? Ngga maz". Aku menatap istriku dengan tatapan lesu. "tapi ma, rumah ini sudah kita jual untuk menutupi semua utang kita, sekarang kita mau tinggal dimana?". "udahlah maz, tadi yang beli rumah ini datang kesini dan dia bilang kita bisa tinggal disini sementara waktu, jadi kita masih ada waktu untuk cari tempat tinggal."

Dinginnya air membekukan segala emosiku hari ini. Aku berdiam diri begitu lama dibawah siraman air dingin kamar mandi. Setidaknya aku masih bisa mandi hari ini. Kugosok-gosok bolotku agar mengelupas dari kulitku dan berharap semua bolot itu adalah masalahku, hingga aku tersadar kulitku lecet terluka karna terlalu keras menggosok. Begitu bedanya hari ini dengan yang dulu, ketika kami mendapatkan semua kemewan itu. Aku adalah seorang pengusaha gula merah, dan itu diajarkan oleh almarhum ayahku sejak aku masih kecil, dari delapan anaknya cuma aku yang meneruskan menjadi pengusaha. Tujuh saudaraku lebih memilih mengejar pendidikan setinggi-tingginya, mereka sukses tapi tak sekaya diriku, mereka mapan tapi tak sesejahtera hidupku, mereka mampu tapi tak sebanding dengan diriku. Sekarang semua itu adalah masa lalu.


Karyawan

    Kubuka lembaran-lembaran kertas yang menumpuk dimejaku seperti halnya membaca novel, berpura-pura menghayatinya tapi faktanya aku hanya membolak-balik lembar demi lembar. 

Seperti hidupku, jika aku membuka halaman berikutnya aku masih disini, tinggal membuka halaman demi halaman dan ceritanya tetap sama saja.
Tapi, jika aku membuka halaman sebelumnya, ceritanya bakal berbeda. Perusahaanku mengalami kebangkrutan, meskipun perusahaan tak ditutup, tapi imbasnya banyak karyawan yang di PHK. aku hampir juga di PHK, tapi Alhamdulilah kodar berkata lain. Yah, meskipun gajiku dipotong dan pekerjaanku bertambah dua kali lipat. Tapi ada halaman yang tidak berani kubuka, meskipun aku sudah membacanya.
Halaman tersebut menceritakan pertengkaranku dengan istriku, pertengkaran kecil, tapi cukup membuat perang 'heartland' kecil diantara kami.
Kala itu, ketika aku pulang dari kantor aku tiba dirumahku dengan penuh beban pikiran, mulai dari masalah perusahaan dan kebutuhan rumah tanggaku yang semakin banyak lubang yang tidak bisa kututupi.
Ah, apa yang bisa kulakukan hari ini. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukan pukul dua siang. Aku beranjak dari kursiku sambil berjalan membenarkan dasiku.

"maz, hari ini ada undangan dari temenku, dia mau nikah, dan bajuku buat kondangan udah pada lusuh?". Pertanyaan istriku tadi pagi yang masih menghantuiku.



    Kemeja yang kukenakan agak sempit dan sesak, entah ukuranya yang kecil atau badanku yang membesar, terasa agak mengganggu dikedua lenganku, meskipun tak masalah lagi bagiku.
Hari ini awan menyembunyikan keberadaannya, sehingga pintu selebar 3 meter di
depan begitu nampak jelas sejelas cerahnya biru langit. Para petugas mondar-mandir berkeliling sibuk, sementara dua pengawalku mengantarkanku hingga didepan bis, beda dengan dua tahun yang lalu, yang mana mereka memborgolku dan mendorongku paksa layaknya hewan dan aku berjalan tunduk malu, malu menatap mereka yang memandangku hina. Kini aku berjalan dengan kedua tanganku bebas bergerak. Kini kepalaku tegak sambil membalas sapa'an para prajurit negara dengan senyuman.
Tepat didepan bis. Bis yang berwarna hitam dengan hiasan sticker warna merah dibody sampingnya. Dihadapanku aku melihat sang jendral, dia tersenyum padaku lalu mendekat dan memeluku.

"Selamat atas dirimu" (aku membalas pelukannya)

"Aku sangat berterima kasih pada jendral, untuk semuanya, termasuk hari ini"
(kami melepas pelukan kami)
"Ah, tidak usah berterima kasih. Setiap manusia yang masih mau merubah hidupnya patut diberi kesempatan kedua"

"Andai aku bisa membalas jasa bapak"

"Cukup membalasku dengan melihatmu hari ini, ayo!, bisnya akan segera berangkat"

   Didepan pintu bis ketika aku menaiki tangga terakhir, aku melihat sekali lagi sang jendral. "Titip salamku, untuk anak istrimu! . . . , jangan kecewakan mereka". Begitu pesan terakhirnya untukku. Lalu bispun mulai bergerak.

   Aku duduk dikursi yang kosong, meskipun sebagian terisi. Sama halnya denganku, semua penumpang bis ini memancarkan pancaran kehidupan yang baru. Kami bahagia.
Perlahan-lahan bis menjauhi tempat mimpi buruk itu, bis mulai melewati komplek perkampungan, tempat dimana biasa aku mengelilingkan daganganku. Air mineral.
Tampak dibenakku entah perasaan aneh yang tersembunyi disalah satu ruang benakku, aku akan merindukan tempat ini. Aneh rasanya, tapi memang benar, tempat ini mengubah diriku, benar-benar merubahku, mengubah hidupku juga jalan cerita hidupku yang baru. Tempat itu bernama penjara. Narapidana.





Tentara

    Hari ini aku sempatkan pergi ke kuburan. Cukup lama aku berharap bisa berdiri disini. Tiga bulan lamanya waktu yang diperlukan tanganku sembuh total, aku tidak diizinkan kemana-mana meskipun lukaku dibagian tanganku, itupun karna alasan kakiku yang cedera bukan karna tanganku, tapi aku bersyukur hari ini aku bisa bertemu kawan-kawanku meskipun dengan cara yang berbeda. Penghormatan terakhirku kawan, dan do'aku selalu menyertai kalian.
Sepatu melangkah dan tak menghirukan kubangan yang kuinjak, sehingga celana dan sepatuku kotor terkena cipratan lumpur. Aku melangkah dengan semangatnya hari ini. Aku pulang. Aku pulang. Akhirnya. Itulah yang kupikirkan. Setelah tiga bulan lamanya dirumah sakit, hari ini aku diberi izin untuk pulang.
Stasiun berjarak dua kilo meter dari kuburan, dan kuputuskan untuk berjalan kaki agar kaki ini tak manja dan sedikit menikmati kemewahan nikmat dari 'Allah' atas pemberian rohmatnya kepadaku. Berjalan.
Rumput-rumput tumbuh subur dengan liar disempanjang jalan, hijaunya yang menyejukan mata dengan hiasan bunga-bunganya yang berwarna-warni cerah.

   
Kereta yang akan membawaku pulang akhirnya datang, setelah cukup lama aku menunggu diperon. Aku memasuki digerbong ketiga sesuai tiketku. Kutaruh tasku ditempat penyimpanan barang lalu kusandarkan punggungku. Ini akan jadi perjalanan yang panjang.

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images